DATANGNYA bangsa Yahudi ke Palestina merupakan awal mula kerusuhan yang berkepanjangan di sana. Bangsa Yahudi mengklaim bahwa Palestina merupakan tanah yang dijanjikan untuk mereka yang didasari atas doktrin agama. Sedangkan bagi rakyat Palestina, tanah Palestina merupakan tanah kelahiran dan tempat nenek moyang mereka hidup.
Di luar alasan teologis, ada alasan-alasan pragmatis yang membawa kembalinya orang Yahudi ke Palestina, yakni dunia menolak kehadiran mereka di manapun. Selama berpuluh-puluh tahun orang Yahudi yang tinggal di Eropa timur, misalnya selalu diperlakukan buruk, diusir, dibunuh, dan tidak mendapatkan fasilitas berarti dari segi pendidikan, politik maupun lapangan kerja serta bisnis. Atas dasar inilah mereka ingin merubah Palestina menjadi negara Yahudi, dan itu tidak mungkin diperoleh kecuali dengan jalan kekerasan.
Pada tahun 1948 terbentuklah negara Israel ditanah Palestina. Diharapkan dengan terbentuknya negara Israel dapat menghentikan polemik yang sedang terjadi, tetapi rupanya fakta berbanding terbalik dari cita-cita yang diinginkan. Yahudi tetaplah Yahudi, mereka belum puas hingga membuat Palestina hilang dari peta dunia dan sebagai gantinya akan dibangun negara Israel Raya di atas tanah bekas reruntuhan bangunan rakyat Palestina. Penjarahan terus-menerus yang dilakukan oleh Israel telah membuat rakyat Palestina harus mengungsi di kamp-kamp pengungsian. Suatu peristiwa yang menggiring pemindahan warga Palestina secara besar-besaran dari tanah air mereka, juga permulaan masa pengasingan.
Kamp ini pertama kali didirikan pada tahun 1950 dengan tujuan untuk menyediakan tempat perlindungan dan makanan. Sejak kamp-kamp tersebut dihuni dari generasi ke generasi pengunjung yang berbeda. Pada tahun 1967, menyusul perang Juni, ketika beberapa daerah yang sekarang dikenal dengan nama tepi barat dan jalur Gaza diduduki oleh Israel. Karenanya kehidupan di kamp bermakna seiring berjalannya waktu, dan suatu sejarah perjuangan menjadi krusial terhadap pengalaman bangsa Palestina.
Buku yang ditulis oleh Kanafani ini, merupakan salah satu buku yang menggambarkan keadaan yang terjadi di Palestina, terkhusus apa yang terjadi ditempat pengungsian. Dalam buku ini Kanafani menggambarkan realita politik, sosial dan manusia yang kehidupan bangsanya pada periode kritis dalam sejarah mereka, ketika tatanan penduduk Palestina diubah secara besar-besaran oleh peristiwa-peristiwa berskala regional dan internasional. Penggambaran keadaan Palestina disajikan dalam cerita fiksi yang ditulis berdasarkan pengalaman Kanafani ketika menjadi guru di sekolah UNWIRA di kamp pengungsian.
Cerita-cerita pendek Kanafani berkisah tentang para ibu di kamp pengungsi yang dengan bangga mengutus putra-putra mereka untuk bergabung dengan fidayeen “pasukan pembebasan Palestina”. Mengunjungi mereka di pegunungan sambil membawa mereka oleh-oleh makanan dari rumah; tentang otoritas para ayah dalam keluarga yang terancam oleh sejumlah perubahan dalam dunia sosial mereka. Tentang anak-anak yang sejak dini belajar berjuang demi menemukan tempat dalam tatanan sosial tersebut; tentang keprihatinan, cinta, kecurigaan antara tetangga yang merasa terancam dengan keberadaan orang asing di negeri mereka.
Cerita-cerita pendek Kanafani juga menghadirkan satu perspektif bangsa Palestina seputar konflik yang telah memasgulkan dunia Timur Tengah dan Arab sepanjang abad XX. Walaupun bukan merupakan ciri khas bangsa Palestina, namun sebagai hasil pengalaman selama sekian desawarsa atas pencabutan hak milik dan perjuangan, timbullah perspektif yang vital dalam hal memahami dan mengakui suatu peristiwa yang muncul dalam ungkapan nyata dan simbolis. Pengalaman inilah yang mesti dicamkan saat mempertimbangkan setiap kekejaman dan intersitas brutal dalam beberapa cerita pada buku ini. Kekejaman yang diartikan secara problematis dalam sejumlah konflik internal itu sendiri dan setting sastra serta sejarah mereka.
Ketegangan antara kejadian-kejadian politik, sejarah dan transformasi sastra inilah yang membuat buku ini berbeda. Melalui narasi, kebutuhan-kebutuhan sejarah menghilangkan kekeraskepalaan mereka sebagai ketentuan yang harus diterima, sekaligus menjadi kaya oleh kemungkinan-kemungkinan yang ada. Masa depan tanpa batas yang diciptakan Kanafani yang tampak dalam analisis sastranya adalah seputar peristiwa dalam sejarah Palestina. Hal terpenting dari buku ini adalah cerita yang mengandung motifasi politik, meskipun bukan risalah atau manifesto yang berusaha menggugah pembaca untuk menerima satu sudut pandang baru, atau mengambil tindakan moral dan politis secara langsung. [Teuku Saifullah, Mahasiswa Aceh penerima beasiswa KEMENAG di Fakultas Syariah prodi Kosentrasi Ilmu Falak IAIN Walisongo Semarang]
DATANGNYA bangsa Yahudi ke Palestina merupakan awal mula kerusuhan yang berkepanjangan di sana. Bangsa Yahudi mengklaim bahwa Palestina merupakan tanah yang dijanjikan untuk mereka yang didasari atas doktrin agama. Sedangkan bagi rakyat Palestina, tanah Palestina merupakan tanah kelahiran dan tempat nenek moyang mereka hidup.
Posting Komentar